purnama di atas asrama

purnama di atas asrama

Posted on Agustus 5, 2008. Filed under: purnama di atas asrama |

Purnama di atas Asrama

Tanggal 14, purnama sempurna. Tak ada awan, jernih, bersih, bulat penuh, menggangtung di angkasa, warna emas kemilaunya. Pesona malam dihiasi pendar keemasan dalam keremangan. Tak ada suara. Selain bisik jangkrik dan sapaan burung hantu. Kadang desah dedaunan mengiringi lari angin yang kemayu malam itu. Diselingi gemercik air di selokan yang membelah halaman asrama. Asrama itu sebuah bangunan bertingakat dua dengan gaya moderen, berpadu dengan latar hamparan sawah berundak, jejeran pohon kelapa dan latar belakang kubah menara masjid keemasan di timpa cahaya bulan. Di kejauhan tampak bukit kokoh berdiri seakan mengawal. Menyatu dengan langit yang temaram. Purnama di atas asrama. Asrama di kaki bukit. Bukit yang tegak berdiri. Hamparan sawah seperti cermin raksasa yang memantulkan cahaya purnama, dan puluhan kunang-kunang bertawaf menambah seri malam hari. Sebuah pesona malam. Sebuah lanskap yang indah sekali. Dan purnama yang menyempurnakan keindahan alam malam itu.

Ada ratusan santri dengan fasiltas asrama yang lengkap, adalah prestasi tersendiri atas amanah yang dibebankan pada Abdala sebagai kepala madrasah. Masih dalam awal pertumbuhan, yayasan tempatnya bekerja telah menorehkan prestasi membanggakan. Bukan saja tingkat kabupaten tapi juga tingkat propinsi dan nasional :

Menjadi madrasah terbersih di tingkat propinsi. Madrasah tertinggi nilai rata-rata matematik sekabupaten. Juara tiga lomba karya ilmiah nasional tingkat SMP. Juara dua pidato dua bahasa, Arab- Inggris tingkat propinsi. Juara dua pembelajaran kreatif dalam lomba diknas kanwil Jabar. Juara dua penampilan kelompok angklung dalam festival Bandung. Juara harapan drama religius di festival Istiqlal. Juara pertama lomba futsal di kabupaten. Termasuk 10 sekolah dengan program koperasi pesantren yang berprestasi dalam skala nasional. Juara tiga guru teladan tingkat propinsi, Penghargaan gubernur atas kepedulian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Mendapat penghargaan KLH atas upayanya menghutankan bukit gundul dan menjadi lahan produktif, Sebagai pilot projek daerah binaan dengan IPB atas riset dan transfer teknologi pengolahan buah tropis. Menjadi daerah binaan Departemen Pertanian dalam pengoptimalan dana LM3, dan menjadi proyek percontohan ternak sapi terpadu tingkat propinsi. Dan sudah melakukan mu’adalah dalam menjalin kerjasama dengan universitas Al-Azhar,Mesir dan beberapa universitas lain di timur tengah untuk beasiswa lulusan pondoknya.

Malam itu Abdala masih di kantornya. Seperti biasa, ia akan menutup gorden kantor sekolah menjelang tengah malam. Kebiasaan yang hampir setiap malam dilakukan sejak tujuh tahun lalu. Memeriksa keadaan asrama dan sekitarnya sebelum pulang ke rumahnya yang luas dan asri di perumahan guru. Malam itu ia tak langsung masuk rumah dan tidur. Pancaran purnama membuatnya terpaku di halaman yang bisu. Ia memilih duduk di gundukan batu-batu taman di sudut halaman. Aroma melati menyebar memberi kesan tersendiri. Tatapan Abdala tajam memandang purnama. Seakan menyaksikan final sepak bola piala dunia. Tak berkedip, tak bergerak. Penuh antusias. Ternyata bukan final piala dunia, bukan pula film koboi yang penuh baku tembak atau adegan seru cina ngamuk yang saling teriak, banting, tendang dan pukul. Tapi ia justru melihat rekaman film dirinya sendiri. Seperti menonton layar tancap layaknya, ia menatap angkasa. Ia melihat dirinya sendiri sebagai pemeran utamanya.

>>

Wajahnya masih klimis. Karna itu 10 tahun lalu. Saat Ia meninggalkan kampungnya. Setelah keluar dari madrasah tempat ia mengajar.

“Sebenarnya bukan keluar, tapi dikeluarkan.” Kata Sasro, staf yayasan dengan nada sinis.

“ Lalu kenapa dikeluarkan?” Tanya Marwoto guru Fisika keheranan. Matanya melotot.

“Mungkin korupsi dia!” sambung Sasro lagi sambil berjalan menjauh.

“Ngomong sama dengkulmu sana…!” Marwoto mendelik.

“Mana mungkin Mas Abdala korupsi…” Sela Sarpan guru Seni Musik. “Wong apa yang mau dikurupsi, kapur tulis…? atau sandal jepitmu yang sudah mau putus itu ..?!” Sarpan setengah mengejek dengan suara berteriak.

“Pasti ada apa-apa dengan orang yayasan…!” Kini Sugiri bicara. Guru matematika itu terpancing juga rupanya. “Kalo ndak ada apa-apa, kenapa Abdala tidak diterima disana. Sedang disini dia sudah keluar, kan aneh !?”

“Katanya di sana sudah beres semua…” Kelik menambahkan.

“Iya, katanya beres, kok tiba-tiba dibatalkan, kejam nian…” Sugiri seperti merintih.

Ribut-ribut di kalangan guru memang tak bisa dihindari. Bukan apa-apa, karena Abdala termasuk guru senior di sana. Dan guru-guru paham bagaimana peran Abdala selama ini. Dan yang tambah tidak jelas adalah sikap Abdala sendiri. Abdala tak mau menjawab. Abdala memilih diam. Ia tak mau ribut-ribut. Bahkan setiap ada yang bertanya ia tak juga mau menjelaskan.

“Aku ndak mau jawab. Sampean bisa menilai sendirilah, Tanya saja orang yayasan…” Selalu begitu jawabannya.

Tapi pihak yayasan juga tak memberikan penjelasan. Dan suara-suara ramai masih terus berseliweran tak jelas, hari ke hari, pekan ke pekan, berganti bulan, sampai akhirnya suara itu berhenti dan hilang bersama waktu.

Abdala yang tengah menyaksikan dirinya di layar purnama berdehem pelan. Lalu menghela nafas, dalam. Ia bersukur karena saat itu mengambil sikap diam dan tidak melakukan konferensi pers untuk membela diri. Baginya akan lebih aman dengan diam. Dia meyakini betul diam itu emas. Dan emas itu mahal dan berharga. Kalau ucapannya benar ia takut akan ria atau ghibah. Kalau ucapannya salah tentu akan lebih berbahaya. Karena bisa saja menjadi namimah atau sebuah dusta dan kebohongan. Meski tak bisa ditutupi, rasa kecewa dan sakit hati sangat dalam tergores di jiwanya. Tapi hanya dia yang tahu, hanya dia yang merasakan. Abdala menyimpannya hanya untuk dirinya sendiri. Memang tak juga bisa dipungkiri, delapan tahun mengajar di sana telah membuatnya banyak belajar dan mendapat pengalaman. Sungguh sangat berharga bagi Abdala, seorang guru baru dengan pengalaman pertama selepasnya kuliah. Ia sangat menyesalkan jika kemudian harus berakhir seperti itu.

Sungguh Abdala bermaksud baik, tidak ada misi apa-apa, tak ada tendensi apa-apa, hanya masukan untuk yayasan, untuk kemajuan yayasan juga. Abdala merasa beberapa kali komunikasinya terhambat sehingga pesan-pesan dan suara guru-guru tak sampai ke yayasan. Ia tak tahu persis dimana sumbatannya. Yang ia tahu aspirasi bawah tidak sampai ke atas. Apakah kepala sekolah yang tidak menyampaikan ke yayasan? Atau disampaikan tapi yayasan tidak memberi tanggapan apa-apa. Meski kapasitasnya hanya sebagai guru, Abdala merasa perlu mengambil jalan alternative. Dan jadilah ia menulis sepucuk surat untuk yayasan. Bukan surat kaleng atau surat gelap. Karena jelas-jelas tertulis nama dan tanda tangannya tertera di akhir surat itu. Bukan hujatan dan bahasa sarkastis yang tertulis. Atau hasutan dan menjelekkan nama-nama tertentu sama sekali tidak. Abdala hanya menyampaikan apa yang selama ini dirasakan teman-temannya sesama guru. Tentang keinginan menyekolahkan anak-anak guru di sekolah tempat mereka mengajar, tentang keadilan kerja yang masih belum signifikan terasa, tentang kesejahteraan, dan jaminan hari tua. Rasanya bukan dosa jika guru menginginkan seperti itu dan menanyakannya ke yayasan, Dimana mereka mengabdikan dirinya setiap hari, pagi hingga sore. Namun rupanya yayasan tak terlalu lapang dada menerima masukkan dari seorang guru biasa, atau belum siap mendapat kritik dari bawahan, atau memang belum terbangun iklim demokrasi di yayasan terbesar di kampung Cipondok kecamatan Cipanjang itu.

Yang terjadi selanjutnya adalah persidangan. Abdala langsung menjadi terdakwa. Di depan para petinggi yayasan ia harus mempertanggungjawabkan ‘dosanya’. Dengan jujur Abdala menjelaskan kenapa ia menulis surat kepada yayasan. Tidak ada kepentingan pribadi, atau sekedar cari sensasi, Hanya sebuah komunikasi yang tidak biasa. Sebuah interupsi dalam diskusi. Sebuah obrolan kala rehat kopi. Atau mungkin anggap saja sebuah autokritik yang konstruktif. Namun akhirnya tidak seperti yang ia harapkan.

Setelah persidangan itu masalah Abdala tidak selesai secara otomatis. Bahkan Abdala merasa masalahnya malah menggantung. Tak ada sidang lanjutan. Tak ada surat peringatan. Kegundahan dan kecemasan kini membayanginya. Pandangan orang-orang yayasan seakan menikam jantungnya. Dan suara-suara kini berbalik arah pada dirinya. Menyalahkannya. Bahkan ada sebagian guru-guru. Aneh, Abdala tak mengerti mengapa bisa terjadi begitu. Bukankah sebelumnya mereka menyokong Abdala untuk maju. Dan membawa aspirasi mereka ke yayasan. Sebulan kemudian Abdala memutuskan keluar dari madrasah itu. Ia akan mengajar di madrasah lain…. Bukan madrasah lain sebenarnya, karena masih berada dalam satu yayasan. Hanya letaknya sangat jauh di daerah. Awal kali bergabung di yayasan Abdala memang sempat ditawari untuk mengajar di sana. Tapi kala itu Abdala merasa belum siap. Daerah terpencil yang baru dibuka dikelilingi sepi dan keheningan. Itu bukan tempat ideal bagi pengantin baru seperti Abdala. Terutama istrinya, langsung menolak tawaran itu.

Kini setelah delapan tahun, Abdala berencana ke sana. Abdala langsung mengajak istrinya survey ke madrasah itu. Tak diduga istrinya setuju. Mungkin karena suasana pesantren dan sambutan hangat di tempat baru. Melihat-lihat madrasah, asrama, rumah yang akan ditempati, guru-guru yang ramah menyapa. Juga suasana yang tidak terlalu sepi. Besoknya Abdala membuat surat pengunduran diri, karena itu menjadi syarat diterima di madrasah baru itu. Surat itu dengan cepat didapatnya. Dokumen lainnya ia lengkapi sebagai syarat administrasinya. Terakhir ia sudah bertemu dan sepakat dengan kepala madrasah baru tentang gaji yang akan ia terima. Tidak besar, tapi Abdala merasa cukup karena ia melihat dari sisi yang lain. Ia bersyukur.

Abdala sudah mengepak barang-barangnya. Tiga hari lagi jadwal keberangkatannya ke madrasah baru itu. Ia makin sibuk dengan berbagai pertemuan perpisahan. Terutama kelompok-kelompok pemuda tempatnya beraktifitas. Begitupula keluarga, sanak saudara juga para tetangga. Tak ketinggalan orangtua murid di tempat lamanya mengajar. Sebagian mereka menyayangkan rencana kepindahan Abdala, “Bapak masih diperlukan disini.” Kata mereka. Begitupun murid-muridnya, mereka meminta Abdala tetap di sana mengajar mereka. Tentu saja Abdala tidak bisa melakukannya. Ia harus meninggalkan mereka. Menuju tempat baru. Suasana baru. Harapan baru. Masa depan baru.

Siang hari sepulang dari tempat penyewaan truk pasir untuk mengangkut barang-barangnya, Abdala mendapat kabar dari kepala madrasah baru di daerah bahwa kepindahannya belum disetujui pihak yayasan. Harus dipending dulu sampai waktu yang tak tentu. Dengan kata lain kepindahan itu BATAL.

Abdala coba mencari tahu, apa sesungguhnya yang tengah terjadi… namun tak ada jawabannya. Akhirnya beribu tanya menyeruak dari pikiran bawah sadarnya. Apakah ini memang sekedar kesalahan manajemen? Atau intervensi petinggi yayasan dalam keputusan? Atau ini sebuah pembersihan satu tempat dari seseorang, karena orang itu dianggap pembangkang dan berbahaya? Atau bisa juga ini sebuah pembalasan atas sebuah kritik yang dirasa pedas? Sindiran yang tajam? Atau malah satu sebentuk mini dari sebuah arogansi penguasa terhadap wong cilik…? Tetap saja Abdala tak mendapat jawab dari banyak pertanyaan itu. Kemarahan dan kekecewaan mendera-dera perasaannya. Abdala membiarkan pikiran-pikiran liar membawanya melompat-lompat. Bisikan-bisikan konyol datang dan pergi di benaknya. Berubah bentuk menjadi ide-ide gila dan mewujud menjadi dendam kesumat yang membakar. Abdala seperti menikmati suasana lepas control seperti itu. Fantasi nakal terus menari-nari di langit jiwanya. Sungguh suasana emosi yang tanpa kendali. Gempuran syaitoni datang bak gelombang susul menyusul. Awan gelap menaungi kemana Abdala pergi dan siap memuntahkan badai batu beratus ribu kubik jumlahnya. Keadaan Abdala menjadi kritis. Antara mengikuti bisikan bawah sadarnya untuk melawan dan melampiaskan marah dan kecewanya, ataukah tetap bertahan. Bukan hal yang mudah memang, namun ternyata Abdala masih sadar, pertahanan dirinya masih cukup tangguh untuh jatuh. Serangan ide-ide konyol, bisikan liar dan pikiran kotor tak mampu menembusnya. Ia masih terlalu kuat untuk bisa dikalahkan. Ia hanya cukup dengan satu kata dalam bersikap, DIAM. Disanalah ia akhirnya belajar, bahwa diam itu mahal. Banyak orang terjebak karena tak tahan untuk bicara dan bertindak. Mungkin ia tak salah, tapi saat bicara ada perangkap lain menunggunya, yakni syahwatul kalam. Itulah arti lidah tak bertulang, atau mulutmu singamu. Abdala malah semakin memahami sepatah kata bijak sederhana, banyak bicara banyak salahnya. Apalagi saat emosinya terbakar seperti itu. Pasti amarah jiwanya akan dengan mudah membakar setiap kata yang terucap. Dan sikap diamnya telah berhasil memupus rasa kecewanya dan meredam amarahnya.

Namun yang marah adalah teman-temannya. Yang kecewa adalah orangtunya. Yang tidak bisa diam adalah karib keluarganya. Mereka ingin Abdala berbuat. Mereka ingin Abdala bertindak. Mereka siap. Mereka siap di belakang, membela Abdala. Abdala hanya diam. Abdala tidak ingin mereka berbuat. Abdala tidak ingin mereka bertindak. Abdala hanya ingin mereka menerima apa yang terjadi. Namun serangan tak berhenti disitu, dalam bentuk berbeda datang mencari celah perlawanan. Beberapa orang yang pernah mengalami nasib seperti Abdala datang mendukung pada awalnya. Menunjukkan rasa simpati atas kesamaan nasib Abdala dengan mereka. Merasa pernah dikecewakan bahkan didzolimi yayasan. Entah masalahnya apa Abdala tak tahu. Mereka mengompori Abdala, membakar amarahnya, menyulut rasa kecewanya. Menarik-narik emosinya. Menebarkan angin su-u dzon, meniupkan mendung dan menyemai kebencian. Mereka mendorong agar maju melawan atau sekedar membela diri. Inilah saatnya kata mereka. Tapi sekali lagi, Abdala masih eling untuk bisa terpengaruh. Ia mampu bertahan. Abdala yakin apa yang dilakukan adalah benar. Maka ia tidak mau mengotori keyakinannya itu dengan trik-trik murahan dan aksi kacangan. Ia ingin menjadi pemenang sejati, yakni bertahan dalam kebenaran, meredam kemarahan dan mengalahkan kebencian dalam dirinya sendiri. Abdala paham, ada jebakan saat ia bertindak. Ada perangkap menunggu kesalahan kecil yang dibuatnya sendiri.

Abdala masih menatap purnama, tatapan yang sendu. Seberkas awan menutup wajah purnama, redup, seakan merasakan kegalauan hatinya. Namun tak lama, angin malam yang dingin terus bertiup menggusir duka dan nestapanya. Dan wangi melati mendekap sukmanya. Kembali cahaya purnama menebar pesonanya, keindahan sempurna di angkasa. Abdala tersenyum menatapnya.

>> Dua hari Abdala berdiam diri, butuh kebesaran jiwa untuk bertahan atas kedzoliman yang dirasa. Esoknya kembali ia mencari tahu, masalah apa yang sesungguhnya terjadi. Rupanya dalam waktu yang bersamaan, telah terjadi pergantian pengurus di madrasah tempat Abdala ditolak. Kepala madrasah telah diganti. Abdala mengontak kepala madrasah yang baru diganti itu. Mungkin ia bisa memberi tahu. Tapi Abdala harus kecewa, karena hanya mendapat jawaban, “Saya bukan kepala madrasah lagi sejak kemarin, kalau Bapak perlu sesuatu hubungi kepala madrasah yang baru.” Sebuah jawaban sederhana untuk menutup diri dan, mencari aman. Namun ketika Abdala mengontak kepala madrasah yang baru jawabannya tak jauh berbeda, “Saya tidak tahu apa-apa tentang proses Bapak, kalau ada yang mau ditanyakan hubungi saja kepala madrasah yang lama…” Abdala hanya tersenyum dalam hati. Senyum yang ia-pun tak mengerti bermakna apa. Sungguh sangat sinetron sekali. Tapi kurang cantik seperti film india. Padahal baik kepala madrasah yang lama maupun yang baru adalah orang yang cerdas dengan pengalaman dan keilmuan mereka. Tapi kenapa dalam masalah kecil seperti pembatalan penerimaan Abdala mereka saling berlepas diri, tidak bermain cantik agar lebih asik dilihatnya. Agar penonton tidak mudah membaca dan menebak alur ceritanya.

Abdala hanya diam. Matanya terpejam. Ia menelan ludah, tapi gagal, karena mulutnya mulai kering. Dihela lagi nafasnya dengan hempasan kuat. Dadanya mulai sesak. Amarah mulai menyentak-nyentak lagi. Menggumpal. Menggemuruh. Meluap. Hendak meledak. Namun Abdala mampu menahannya. Ia salurkan dengan helaan nafas lagi. Meski semakin sulit ia lakukan. Berat, dan tersendat-sendat. Lalu terduduk, seakan tak kuat menahan beban sangat berat di punggungnya.

Abdala tetap tak habis pikir. Apa yang sebenarnya tengah terjadi..? apakah orang seperti dirinya memang layak diperlakukan sedemikian sakit? Apakah ini memang scenario tentang sebuah kekuatan ‘besar’ yang tak bisa dilawan orang-orang ‘kecil’ seperti Abdala. Atau mungkin mereka memang menganggap masalah itu hanya masalah kecil, yang akan segera dilupakan dan hilang dibawa angin. Padahal sesungguhnya tidak seperti itu. Karena setiap ketidakadilan, penyimpangan, perampasan hak dan penentangan terhadap kebenaran selalu akan abadi. Tertoreh dalam lembar-lembar sejarah zamannya. Ia akan menjadi saksi setiap langkah-langkah panjang melebihi umur manusia pelakunya. Begitupun kebaikan, keadilan, pemberian hak, setiap bentuk bantuan dan ketaatan. Ia akan menjadi saksi dan menjadi syafaat baginya. Itulah bingkai keadilan Ilahi. Abadi.

Tidak adakah jalan tengah yang bisa menampung semua kepentingan…? Sehingga tidak perlu ada korban. Tidak ada kekecewaan, kemarahan dan kebencian. Tidak adakah sikap yang lebih tepat dan lugas…? Yang mewakili sebentuk perhatian, persaudaraan dan kebijaksanaan. Tidak adakah sikap yang lebih cantik untuk mengusung misi keberpihakan pada keadilan. Keadilan, sungguh memang tidak semudah diucapkan. Bahkan lebih mudah membentuk sebuah partai politik dengan nama itu dari pada mengamalkannya di tataran kenyataan. Memang sungguh berat…!

Abdala tak tahu harus berbuat apa . Namun Ia masih sadar harus tetap menjaga sikapnya. Agar tak berbuat konyol. Agar tetap berbuat benar. Maka ia mengambil sikap diam. Tapi ia sangat yakin Allah tidak akan tinggal diam. Allah Maha Kuat, Dia pasti akan berbuat.

>>

Malam telah larut, Abdala masih duduk di atas batu besar di sudut halaman asrama. Semerbak melati terus menebar wangi malam. Matanya masih menatap purnama. Purnama di atas asrama. Ia tersenyum. Purnama adalah pesona yang tak pernah selesai. Selalu memuat harapan, cita-cita dan mimpi. Purnama adalah mimpi Abdala. Sepuluh tahun lalu saat ia meninggalkan kampungnya, Abdala berdoa, agar Allah memberinya kesempatan mendapat sebuah sekolah yang menjadi impiannya. Sekolah yang memberdayakan murid-muridnya, dan guru-gurunya hidup sejahtera. Sebuah harapan aneh dan berani dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi itulah Abdala, ia tidak pernah berhenti berharap. Harapan yang dituangkan dalam mimpi besar , cita-cita besar dan kerja besar. Sebuah mimpi besar hanya bisa diwujudkan dengan kerja besar. Dan Abdala telah memulainya sejak tujuh tahun lalu di yayasan tempatnya mengabdi kini. Tidak ada kemenangan yang dengan mudah diraih. Tidak kejayaan yang datang dengan sendirinya. Tidak ada kemuliaan yang disusupi nafsu, amarah dan kebencian. Karena Allah telah siapkan, Ada celah takdir yang gelap, sebuah misteri yang tersimpan. Akan turun untuk para pemenang sejati, atas sebuah keberanian, perjuangan, pengorbanan dan kesabaran.

Malam terus merambat. Suara burung hantu terdengar menjauh. Dan hilang bersama angin malam. Lalu sepi. Udara dingin menyusupi jaket Abdala menusuk pori-porinya. Abdala bangkit sambil memeluk dua tangannya. Berjalan pelan, meninggalkan purnama sendiri dalam pesonanya. Purnama di atas asrama. Sebuah paduan mimpi dan nyata. Sebuah mimpi yang ia rasakan nyata. Maka ia takan pernah berhenti bermimpi untuk sebuah harapan. Masa depan.

(untuk guru-guru, penabur benih peradaban masa depan)

malam-malam sunyi, saat purnama tertutup mendung

kampus as-syifa, 7 mei 2007 à (selamat hari lahir ya… kuatkan jiwamu…!)

anadwi fahri al-batawi 2026

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...